'MENGGUGAT' KEJAYAAN MAJAPAHIT
Ketika mendengar kata "Majapahit" yang terngiang-ngiang dalam benak saya adalah kerajaan besar asal Jawa Timur yang pada masa kejayaannya mnguasai seluruh kepulauan Nusantara bahkan sampai menguasai sebagian wilayah Thailand hingga Filipina. Kisah kejayaan Majapahit diceritakan disemua level pendidikan, mulai dari TK hingga SMA dengan sedikit penyesuaian narasi kejayaan Majapahit terus diulang-ulang. Republik ini pun seolah berdiri diatas puing-puing peradaaban Majapahit dimana asal warna bendera, semboyan-semboyan institusi negara hingga nama-nama jalan menggunakan nama, istilah dan simbol yang berasal dari kisah kejayaan majapahit. Namun, ada satu hal yang mengganggu pikiran saya sejak dulu yaitu jika memang seluruh Nusantara dikuasai oleh kerajaan Majapahit kenapa persebaran bahasa jawa hanya di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta saja, kenapa daerah sumatera, kalimantan, semenanjung malaya bahkan jawa barat tidak menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa percakapan sehari-hari, mengapa justru bahasa melayu yang dipilih sebagai bahasa penghubung antar suku di Nusantara? pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian membawa saya untuk 'menggugat' kepercayaan saya akan sejarah kejayaan kerajaan Majapahit yang selama ini saya dengar.
Dari hasil penelusuran saya dari berbagai artikel setidaknya ada 4 hal yang menjadi bukti bahwa wilayah kekuasaan majapahit tidak sebesar yang jamak kita ketahui saat ini yaitu:
1. Kesalahan Memahami Arti Kata Nusantara
Artikata Nusantara yang saat ini kita pahami adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua, yang sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia. Namun, Menurut Hasan Djafar dalam bukunya menyebut bahwa “nusa” adalah ‘pulau-pulau atau daerah’, sementara “antara” adalah ‘yang lain’. Jadi Nusantara pada masa Majapahit diartikan sebagai “daerah-daerah yang lain” Hubungan Majapahit dengan wilayah-wilayah lain bisa disebut sebagai ‘mitreka satata’ atau kerja sama. Sehingga membuat Majapahit wajib melindungi partnernya. Artinya pada akhir abad ke-14, perdagangan Majapahit sudah berciri globalisasi. Sementara konsep Nusantara sendiri, kata Hasan, merupakan koalisi antara kerajaan-kerajaan yang turut bekerja untuk kepentingan bersama untuk keamanan dan perdagangan regional. “Sifatnya bukan menguasai, sehingga jika ada pemberian hadiah, itu bukanlah upeti. Misalkan ada duta besar datang memberikan hadiah kepada Presiden Jokowi, apakah negara itu disebut ada dalam pengaruh Indonesia. Kan, tidak,” ujar Hasan.
2. Salah Tafsir Dari Para Founding Fathers Indonesia
Kesalahpahaman perihal Majapahit menguasai seluruh Nusantara, menurut Hasan, disebabkan para founding fathers Indonesia, utamanya Muh. Yamin, sedang mencari formula untuk menciptakan satu kesatuan Indonesia (nation building). Saat itu Indonesia masih terkotak-kotak dalam semangat kesukuan dengan adanya Jong Java, Jong Celebes, dan Jong Sumatera. Karena itulah disebutkan bahwa konsep Nusantara yang sudah ada pada zaman Singasari dengan nama Dipantara lantas diperkuat pada zaman Majapahit. Landasannya sumpah Patih Gajah Mada yang terkenal itu. Padahal, kata Hasan, asal-usul adanya sumpah itu adalah kitab Pararaton yang di dalamnya juga banyak kisah dongeng, seperti Ken Arok bisa terbang dan lain sebagainya. "Membacanya harus hati-hati karena Pararaton sangat istanasentris dan mencampurkan fakta dengan mitos," ucap Hasan.
Muh. Yamin pernah menulis sebuah buku berjudul Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara yang terbit kali pertama pada 1945 dan telah dicetak ulang belasan kali. Buku itu mengisahkan kepahlawanan Gajah Mada sebagai Patih Kerajaan Majapahit. Dalam buku itu Yamin menggambarkan sosok Gajah Mada seperti Bima, tokoh pewayangan dalam Mahabharata yang dianggap paling kuat. Wajahnya bulat gemuk, pipinya kembung, dan bibirnya bulat. Namun, kata Hasan, Yamin membayangkan imaji Gajah Mada dari sebuah celengan di Trowulan yang di depannya ada sebuah muka. "Ya, masak Gajah Mada disamakan dengan celengan," tanya Hasan. Dalam buku itu, Yamin juga melampirkan secarik peta wilayah Indonesia―terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai ke Talaud―dengan judul "Daerah Nusantara dalam Keradjaan Madjapahit". Tentang peta ini Hasan mengungkapkan, gagasan persatuan ini oleh para sejarawan telah ditafsirkan sebagai wilayah Majapahit, sehingga seolah-olah ada penaklukan. "Itu salahnya dan itu yang harus diluruskan," ucap Hasan Djafar.
3. Peninggalan Kerajaan Majapahit yang Kebanyakan Hanya di Daerah Jawa Saja
Sebuah kerajaan dengan cakupan kekuasaan yang luas pasti pernah meninggalkan jejak. Sama halnya dengan Kerajaan Majapahit. Digadang-gadang sebagai Penguasa Nusantara, Majapahit hanya memiliki peninggalan yang kebanyakan berada di Jawa. Sebut saja beberapa di antaranya adalah Candi Sukuh dan Cetho di Karanganyar Jawa Tengah, Candi Pari, Jabung, Gapura Wringin Lawang yang ada di Jawa Timur.
Peninggalan Kerajaan Majapahit tergolong sedikit Jika dibandingkan dengan kerajaan Srivijaya yang konon memiliki wilayah yang lebih kecil dibandingkan Majapahit. Prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Srivijaya tersebar hingga ke wilayah luar negeri,sebut saja Prasasti Ligor di Thailand, Prasasti Nalanda di India, dan Prasasti Katon di Cina.
4. Salah Kaprah Penafsiran Sumpah Palapa
Patih Gajah Mada pernah berujar, bahwa dirinya tak akan bersenang senang sebelum menyatukan wilayah Nusantara. Dalam sumpah ini, Patih Gajah Mada menyebut kata ‘menyatukan’ alih-alih ‘menguasai’. Dari sumpah tersebut sudah jelas, bahwa Patih Gajah Mada tak berniat untuk menguasai wilayah Nusantara. Ia hanya ingin menyatukan saja, oleh karena itu setiap wilayah Majapahit masih memiliki pemimpin yang disebut adipati yang berkoordinasi dengan pusat di Trowulan.
Namun karena kurang sabar, muncul keinginan menguasai salah satu kerajaan, yaitu Pasundan atau Sunda. Dengan menguasai kerajaan tersebut maka Sumpah Palapa yang pernah diucapkannya akan terpenuhi. Karena keinginannya tersebut, pecahlah perang Bubat yang pada akhirnya membuat Patih Gajah Mada gagal memenuhi Sumpah Palapa.
Dalam mengungkap fakta sejarah memang diperlukan bukti-bukti sejarah yang otentik dan dapat dipercaya, bukan menelan mentah-mentah tulisan yang mengarah kepada dongeng. selain itu, diperlukan pemikiran yang kritis terhadap tiap teori yang munculkan sehingga memunculkan teori sejarah yang mendekati kebenaran. Terlepas dari benar-salahnya teori sejarah yang kita terima, kita tetap masih dapat mengambil pelajaran dari cerita kejayaan Majapahit sehingga memuncul optimisme pada bangsa Indonesia bahwa kita adalah bangsa yang besar dan dapat menaklukkan apapun selama kita masih dalam bingkai persatuan.
Komentar
Posting Komentar